Sejarah Nahdlatul Ulama (NU) adalah sejarah panjang pergerakan umat Islam di Indonesia yang melibatkan proses institusionalisasi pendidikan sebagai bagian penting di dalamnya. Pendidikan, bagi tokoh dan warga NU merupakan lembaga paling strategis untuk mewujudkan semangat “al-muhaafazhah ‘ala l-qadiimi sh-shaalih wa l-akhdz bi l-jadiidi l-ashlah” (melestarikan hal terdahulu yang baik dan menerapkan hal baru yang lebih baik). Melalui pendidikan, khazanah dan paham keagamaan serta upaya penguatan umat dapat dilakukan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.
Saat ini, terdapat ribuan satuan pendidikan di lingkungan NU mulai dari yang formal hingga non formal, baik yang dikelola oleh jama’ah (warga NU) maupun jamiyyah (organisasi). Kedua bentuk satuan pendidikan tersebut, meskipun tidak terkoordinasi menurut kacamata organisasi modern, ternyata menyatu dalam kekuatan kultural dan ideologis untuk sama-sama mengibarkan semangat pendidikan berhaluan ahlussunnah waljamaah.
Satuan pendidikan yang berdiri di tengah-tengah warga NU biasanya merupakan inisiatif perorangan ataupun kelompok tertentu di lingkungan NU yang ingin mengambil peran pelayanan dan pengembangan pendidikan. Tidak sedikit, mereka bahkan menggunakan nama dan lambang organisasi sebagai wujud kebanggaan mereka sebagai warga NU.
Kenyataan seperti itu secara manajerial tentu kurang ideal, namun menjadi kekuatan tersendiri yang sesungguhnya menguntungkan NU. Semangat untuk mengelola pendidikan demi memperjuangan terwujudnya cita-cita NU tenyata tumbuh begitu kuat di kalangan warga NU.
Potret kelambagaan pendidikan lainnya menunjukkan bahwa satuan pendidikan di lingkungan NU lebih banyak melayani kalangan masyarakat bawah. Bahkan ada anggapan bahwa, madrasah atau sekolah NU hanya cocok untuk masyarakat di desa-desa dari kalangan petani, nelayan dan buruh, dan sebagainya. Boleh jadi, kenyataan tersebut menyebabkan model pendidikan yang dikembangkan kemudian “kurang bermutu”.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan lahirnya gagasan-gagasan baru di lingkungan NU untuk mengembangkan madrasah, sekolah, maupun perguruan tinggi unggulan. Tapi, di luar kekurangannya, banyaknya peserta didik dari masyarakat kalangan bawah di satuan pendidikan NU membuktikan bahwa NU tetap konsisten memperjuangkan harkat dan martabat masyarakat kelas bawah.
Di era kompetitif sekarang ini, tuntutan untuk mengembangkan pendidikan yang lebih terorganisasi dan bermutu menjadi keharusan. Tetapi bagi NU, semestinya hal itu dilakukan tanpa meninggalkan komitmen dasarnya dalam melayani dan memperjuangkan umat, terutama masyarakat kelas bawah.
Apa yang perlu dilakukan oleh NU ke depan untuk memajukan dan meningkatkan kualitas pendidikannya? Ini merupakan pertanyaan yang barangkali sampai saat ini belum terjawab tuntas di lingkungan NU. Kalau melihat keputusan-keputusan organisasi dalam bidang pendidikan, apa yang sudah berjalan selama ini sesunggunya tidaklah menjadi masalah. Pada Muktamar NU tahun 1927, warga NU bersepakat menggalang dana untuk mendirikan madrasah dan sekolah. Pada Muktamar berikutnya di 1928, para elite NU yang dipimpin oleh KH. Wahab Chasbullah mengadakan gerakan peduli pendidikan dengan mengunjungi pesantren-pesantren kenamaan di Jombang dan Nganjuk Jawa Timur.
Penting untuk dicatat bahwa, pesantren dengan berbagai kegiatan pendidikan di dalamnya, termasuk yang menggunakan sistem klasikan modern, pada masa-masa itu sudah berkembang mendahului gagasan pengembangan pendidikan yang dikembangkan oleh organisasi.
Gagasan untuk mewadahi satuan-satuan pendidikan dalam sebuah badan hukum muncul pada Muktamar tahun 1929 tepatnya tanggal 19 September 1929 M / 14 Robi'ul Tsani 1347 H, yang memutuskan ada badan khusus di tubuh Hoof Bestur Nahdlatul Oelama (HBNO) yang menangani bidang pendidikan yang waktu itu diketuai oleh Abdullah Ubaid. Namun gagasan itu baru menemukan bentuknya secara organisatorik pada saat didirikannya Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU) di tahun 1959.
Di tahun itu, satuan-satuan pendidikan yang ada di dalam maupun di luar pesantren yang dikembangkan oleh warga NU sudah demikian banyak jumlahnya. Mereka mengembangkan pendidikan sebagai bentuk komitmen dari apa yang sudah dicita-citakan oleh NU. Dalam konteks ini, tugas organisasi sesungguhnya lebih pada menganyomi, mengkoordinasikan dan meningkatkan mutu pendidikan yang sudah dikembangkan.
Tentu saja, NU berkepentingan untuk mendirikan, menyelenggara dan mengelola beberapa satuan pendidikan yang secara hukum menjadi aset organisasi. Satuan-satuan pendidikan ini idealnya berfungsi sebagai pionir dan model percontohan bagi satuan-satuan pendidikan di lingkungan NU lainnya.
Muktamar ke-30 tahun 1999 di Lirboyo Kediri membuat kebijakan penting di bidang pendidikan. Ditegaskan bahwa pendidikan merupakan salah satu maistream dalam program kerja NU, mengingat organisasi ini sendiri dilahirkan dari serangkaian proses sejarah yang didalamnya terjadi pergulatan pemikiran keagamaan dan keummatan. LP Ma’arif NU sendiri pada Rakernas Tahun 2001 kemudian memetakan adanya 3 (tiga) kelompok satuan pendidikan di lingkungan NU, yaitu: satuan pendidikan yang didirikan oleh LP Ma’arif NU, satuan pendidikan yang didirikan oleh jama’ah atau lembaga lain di lingkungan NU yang bekerjasama dengan LP Ma’arif NU dalam pengelolaannya, dan satuan pendidikan yang didirikan dan dikelola secara mandiri oleh jama’ah atau lembaga lain di lingkungan NU. Ketiga kelompok tersebut dianggap sebagai satuan pendidikan yang bernaung di bawah LP Ma’arif NU.
Dengan difokuskannya tugas LP Ma’arif NU pada satuan pendidikan formal sesuai dengan keputusan Muktamar NU ke-31 di Boyolali, perlu dirumuskan kembali langkah-langkah strategis untuk memberdayakan pendidikan di lingkungan NU. Semua perlu dilakukan tanpa mengurangi nilai-nilai luhur yang tercermian dari partisipasi warga NU dalam mengembangkan lembaga pendidikan selama ini.
Pemikiran untuk menyatukan satuan-satuan pendidikan di bawah naungan NU saat ini perlu diterjemahkan sebagai upaya pemberdayaan dan penguatan jama’ah dan jam’iyah untuk menyelenggarakan dan mengelola pendidikan, bukan sekedar penyelamatan aset fisik yang hanya berkutat soal kekayaan-kekayaan material organisasi yang kemudian tidak pernah menemukan titik terang pemanfaatannya.
Harus diakui, ada beberapa aset (fisik) organisasi karena tidak mendapatkan perhatian di bidang advokasi lagalitasnya kemudian menguap dan berganti kepemilikan. Tapi, jangan pula dilupakan ada beberapa aset yang secara legal-formal merupakan milik organisasi, tetapi pihak lainlah yang piawai dalam pemanfaatannya. Dua masalah ini juga harus menjadi bagian dari perhatian LP Ma’arif NU saat ini.
Pada soal pemberdayaan, LP Ma’arif NU perlu memperkuat perannya sebagai regulator dan fasilitator bagi seluruh satuan pendidikan di lingkungan NU, baik milik jam’iyah maupun jama’ah. Di sini, LP Ma’arif NU perlu merumuskan karekteristik dasar dari pendidikan NU yang perlu diterapkan, sehingga menjadi platform pendidikan Ma’arif. Nilai-nilai ahlussunnah waljama’ah tidak hanya diperjuangkan melalui mata pelajaran Aswaja dan Ke-NU-an, tetapi secara kultural harus ditanamkan ke dalam seluruh aspek yang ada di lingkungan satuan pendidikan NU, baik manajemen, standar isi, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar evaluasi dan lain sebagainya. Peran fasilitator ini ditandai dengan produk-produk regulasi, penyediaan pusat-pusat informasi pendidikan, advokasi pendidikan yang bermanfaat bagi jam’iyah dan jama’ah dalam penyelenggaraan pendidikan.
Tidak perlu berpikir ke belakang untuk menata ulang dari nol bagaimana satuan pendidikan di lingkungan NU berada dalam satu payung hukum, yakni NU atau LP Ma’arif NU. Berpikir seperti ini sama dengan tidak megembangkan potensi besar partisipasi warga NU dalam dunia pendidikan. Bahkan bisa jadi wajah pendidikan NU yang selama ini bersifat “partisipatorik”, kemudian berubah menjadi “instruktif”. Jadi, yang perlu dilakukan LP Ma’arif NU adalah bagaimana memaksimalkan peran regulatif dan fasilitasi pendidikannya.
Adapun bidang hukum sangat terkait dengan penyelamatan dan pemanfaatan aset. Adanya 3 kelompok satuan pendidikan sebagaimana disebutkan di atas bisa dijadikan dasar bagi LP Ma’arif NU untuk melakukan penataan aset. Karena merupakan bidang hukum, maka strategi dan cara-cara yang digunakan selayaknya berdasar pada aturan main hukum. Sebut saja, misalnya satuan pendidikan yang didirikan oleh organisasi dan menjadi aset organisasi, maka nama dan lambang organisasi sudah seharusnya digunakan. Adapun tipe yang lainnya yang secara legal formal bukan merupakan aset organisasi, perlu dipertimbangkan jika nama dan lambang organisasi bebas-bebas saja digunakan, seperti apa dampaknya bagi keteraturan organisasi. Sebab, hal ini akan menjadi kendala tersendiri bagi proses penataan aset organisasi.
Sebagai lembaga yang berkekuatan hukum, LP Ma’arif NU bisa mendirikan, menyelenggarakan dan mengelola satuan pendidikan. Satuan pendidikan yang didirikan dengan cara ini adalah aset penuh organisasi. Pada saat yang sama, lembaga ini juga merupakan regulator dan fasilitator satuan pendidikan yang ada di lingkungan NU yang tidak didirikan oleh organisasi. Satuan pendidikan terakhir ini merupakan bentuk partisipasi jama’ah dalam pendidikan NU yang harus dikembangkan secara bersamaan dengan satuan pendidikan yang merupakan aset penuh organisasi. Wallahu A’lam.
Ditulis Oleh: Zamzami, S.Ag, M.Si, Dosen STAINU Jakarta, Bendahara Pengurus Pusat LP Ma’arif NU
0 komentar:
Posting Komentar